Kompos berbahan Eceng Gondok Danau bagi Reklamasi Lahan Tambang di Kutai Kartanegara
Keberadaan spesies tanaman (Eichhornia crassipes)
yakni tumbuhan air dengan nama eceng gondok, yang di beberapa daerah
di Indonesia mempunyai nama lain seperti di Palembang dikenal dengan
nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal
dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe, di
berbagai perairan kini merupakan masalah. Eceng gondok yang merupakan
tumbuhan air dan lebih sering dianggap sebagai tumbuhan pengganggu
perairan, memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam waktu
3–4 bulan saja, eceng gondok mampu menutupi lebih dari 70% permukaan
danau. Jika pada luasan danau 1 ha terdiri dari 10.000 m2 dengan
populasi tanaman ini diperkirakan memiliki ketinggian 0,5 m, akan
setara dengan 5000 m3 atau akan berbobot 1500 ton/ Ha pada asumsi
rataan berat 300 kg/m3..
Cepatnya pertumbuhan eceng gondok dan tingginya daya tahan hidup
menjadikan tumbuhan ini sangat sulit dikendalikan. Pada beberapa
negara, pengendalian eceng gondok secara mekanik, kimia dan biologi
tidak pernah memberikan hasil yang optimal. Eceng gondok berpotensi
menghilangkan air permukaan sampai empat kali lipat jika dibandingkan
dengan permukaan terbuka. Pertumbuhan populasi eceng gondok yang tidak
terkendali menyebabkan pendangkalan ekosistem perairan dan tertutupnya
sungai serta danau (Gopal dan Sharma, 1981)
Selain kegunaan dalam menyerap logam berat dan pestisida, enceng
gondok banyak mempunyai kerugian karena kemampuannya berkembang secara
pesat. Beberapa kerugian akibat pertumbuhan enceng gondok yang tidak
terkendali antara lain:
- Meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.
- Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
- Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan.
- Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
- Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia.
Enceng gondok, tidak terkecuali, tumbuh dengan pesat di berbagai daerah
aliran sungai pulau Kalimantan, termasuk di daerah tengah hulu sungai
Mahakam di Kalimantan Timur. Terdapat sekitar 76 danau tersebar di
daerah aliran Sungai Mahakam dan sekitar 30 danau terletak di daerah
Mahakam bagian tengah termasuk tiga danau utamanya (danau Jempang
15,000 Ha; Danau Semayang 13,000 Ha; Danau Melintang 11,000 Ha).
Sungai dengan panjang sekitar 920 km ini melintasi wilayah Kabupaten
Kutai Barat di bagian hulu, hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota
Samarinda di bagian hilir. Kian sibuknya lalu-lintas sungai dengan
hilir-mudiknya baik kapal-kapal besar maupun perahu kecil bermotor jadi
ancaman serius lainnya. Kegiatan ekonomi yang bertambah ramai dengan
memanfaatkan sungai sebagai urat nadi transportasi telah “merampas”
habitat ikan khususnya Pesut Mahakam. Pesut Mahakam pun kian terkucil
pada habitatnya akibat kalah bersaing dengan mesin-mesin kapal yang
menebarkan suara bising serta mencemari sungai dengan limbah-limbah
minyak beracun.
Kini, dua danau besar yang berada didaerah aliran sungai Mahakam itu
didominasi eceng gondok, serta sejumlah besar lahan kering lainnya
didominasi oleh alang-alang. Hal ini jelas merpakan beban lingkungan
hidup yang akan mempengaruhi mutu lingkungan, yang pada saatnya akan
mempengaruhi juga pertanian dalam arti luas yang ada di wilayah itu.
Atas dasar pemikiran itulah, lebih dari 9 anggota Komisi II DPRD Kutai
Kartanegara, serta Ketua DPRD Kukar, Ir.H. Awang Luqman, MM
berkesempatan melakukan study banding guna mempelajari pengendalian
eceng gondok yang diusulkan perusahaan PT. Cipta Visi Sinar Kencana, 19 Agustus 2011 lalu.
Dalam kesempatan tersebut, Sonson Garsoni selaku pimpinan perusahaan pengembang teknologi Bio Elektrik, mengenalkan Instalasi Bio Elektrik 7000L yang terdiri dari 3
unit digester 7000 liter, 1 mesin pencacah MPO 500 HD (Honda), 3 unit
pemurnian biogas MP 24150 (stainless steel), gas holder kapasitas
> 10 m3, 3 unit generator BG 5000 (genset biogas daya 5000 watt),
bakteri aktivator metan GP-7 untuk 1 bulan serta perlengkapan
instalasi hingga unit kompor dan generator. Instalasi
Biogas dan Bio Elektrik Biophoskko BD 7000L berkemampuan mengolah
limbah biomassa atau sampah organik termasuk eceng gondok untuk pertama
kalinya 21 m3 (setara 7 ton) dan selanjutnya 4,2 m3 atau 1,26 ton/
hari.
Menurut Sonson Garsoni, setiap harinya, output shelter Instalasi BD
7000 L menghasilkan biogas dengan kemurnian > 80 % metan (CH4)
sebanyak 37,8 m3 yang memiliki daya nyala dan kalori tinggi sebagai
bahan kompor guna masak memasak setara 17, 388 kg LPG, atau bahan bakar
gas tersebut dapat menyalakan 3 unit genset 5000 watt sebanyak 45,36
kWh (kilo watt hour). Selain penerimaan dari penjualan bahan bakar gas
atau energi listrik diatas, instalasi shelter BD 7000L menghasilkan
lumpur (slurry) dengan kualitas pupuk cair organik sebanyak 3,78 m3/
hari. Lumpur
ini dapat ditingkatkan kualitasnya dengan menambahkan kedalamnya
aneka bakteri (fixasi N2, pelarut posfat dan KCL) atau zat tumbuh,
sehingga memiliki nilai tambah (added value) sebagai pupuk hayati atau
pupuk organik.
Mengingat besarnya potensi eceng gondok di kedua danau Melintang dan Semayang dengan luasan lebih dari 25.000 Ha, pada asumsi 3 atau 4 bulan saja dapat bertumbuh hingga menutupi semua areal danau, dapat diperkirakan potensi pertumbuhan eceng gondok tersebut tidak akan kurang dari 20.000 Ha dibagi 100 hari atau 200 Ha/ hari atau setara dengan bobot 300 ribu ton/ hari. Dengan mengacu pada output energi dari tiap 1, 26 ton diatas, jika semua pertumbuhan eceng gondok/ hari diolah dengan instalasi Bio Elektrik, diperlirakan bisa dihasilkan 300.000 x 45,36 KWH= 13,600 MegaWatt (MW) atau setara dengan 300.000 ton/ 1,26 x 17,388 = 4, 139 kg LPG/ hari.
Perkiraan hasil diatas masih belum diperhitungkan pendapatan dari material cairan yang diperoleh dari lumpur ( sludge) keluaran instalasi, yang sangat bernilai ekonomi ketika digunakan sebagai pupuk kompos cair bagi penumbuhan vegetasi dalam reklamasi lahan tambang. Demikian juga bagian material lumpur non cair, berupa kompos padat, akan sangat berguna bagi media tumbuh jamur tiram, yang diketahui tumbuh baik pada material dengan kandungan selulosa tinggi seperti halnya kompos asal eceng gondok ini. Sungguh suatu berkah yang sangat besar dari kemelimpahan eceng gondok di Kutai Kartanegara dan bagi masyarakat pedalaman Kalimantan Timur ini jika saja masalah sedimentasi di danau Melintang dan Semayang di Kalimantan ini, diatasi dengan tujuan pengadaan energi bahan bakar dan listrik serta pengadaan pupuk bagi reklamasi lahan tambang (+)
0 komentar:
Posting Komentar